Skip to main content

Government Must Promote Basic Rights and Security

a message from leading indonesian human rights ngo kontras, to commemorate world human rights day 2010.
10 December 2010
Human Rights Message from KontraS Commemorating World Human Rights Day, 10 December 2010

Our success in upholding human rights can be measured by gathering concrete evidence of the outcomes of the priority agenda and strategies we adopt. However, the current government and its leaders, SBY and Boediono, have not yet guaranteed basic rights for citizens or promoted human rights and security.

The international slogan of the World Human Rights Day on 10 December 2010 was “Human Rights Defenders Who Act to End Discrimination”. The message, issued by the UN’s Office of the High Commissioner for Human Rights, emphasised that human rights defenders are at the centre of efforts to eradicate discrimination in the world. The message is in line with the legal certainty of human rights in Indonesia, as stated in article 100 Law No 39/1999 on Human Rights; that “every person, group, political organization, community organization, community self-reliance group, or other community social organizations, has the right to participate in the protection, enforcement and promotion of human rights”.

The world also focuses its attention on human rights in Indonesia, but the enforcement of human rights in Indonesia is still not managed properly. Law enforcers and government officials still discriminate, despite many laws guaranteeing human rights protection. Therefore, in commemorating World Human Rights Day 2010, KontraS would like to pay special attention to several issues that serve as important indicators of human rights enforcement in Indonesia today.

Firstly, the state has failed to eliminate violence in Papua in the past few months. The sense of security for the people in Papua is now elusive because violence is rampant, as the world has seen in YouTube videos. A series of security issues further threaten Papuans’ rights, as revealed by the leak of a Kopassus document which stated that they were targeting a number of civil society activists in Papua, and a mysterious operation that attacked TNI officers’ residences and houses.

The state’s responses to these issues were feeble and meaningless. The Human Rights Court mechanism applied in the case of video-taped violence against the residents of Tingginambut District was below the standards ratified by the government, namely the UN Covenant on Civil Political Rights (Law No. 12/2005) and Convention against Torture (Law No. 5/1998), which stated the principle of fair trial.

Similar to the situation during the New Order regime, Papuan political activists, especially those who try to express their opinions in peace, are still criminalised. Even worse, they continue to suffer from violence and from the poor condition of prison infrastructure. 

Secondly, the sanctions imposed against police officers who perpetrate violence are very minimal and usually internal, such as mutation or suspension from their positions. As a result, violence frequently occurs in various regions, during investigations at police stations or land disputes with corporate owners.

The police’s ambiguity can also be seen in the way they generally handle two types of cases: terrorism and the protection of minority groups. In terrorism, Polri in general, and Densus 88 in particular, have perpetrated excessive violence, arrested the wrong people, not had arrest or detention warrants, not provided an attorney for suspects during questioning, and not allowed families access to suspects. On the other hand, Polri seems weak in responding to horizontal violence perpetrated against minority groups by groups such as the Front Pembela Islam (FPI).

Thirdly, President SBY has failed to adopt a political stance or take action in response to recommendations from the House of Representatives on the enforced disappearances of activists in 1997/1998.

Fourthly, the state has not given serious attention to the protection of human rights defenders. An example is Munir’s murder case, which received more attention from the general public and the international community. The longer this case remains unresolved, the more it will become the symbol of state ignorance.

In addition, violence against human rights workers and democracy supporters continued to occur in 2010. Examples include violence against journalists (16 cases), against anti-corruption activists (such as Tama S. Langkun), and against environmental activists.

The four human rights enforcement issues above are crucial for SBY-Boediono. They must be brave enough to make significant breakthroughs in these issues, through measures such as:

- taking advantage of the World Human Rights Day momentum to announce a plan to create a Human Rights Enforcement Blueprint containing their vision and strategies.

- President SBY must issue an apology to the Indonesian public for the persistent failure in human rights enforcement. This has resulted in the killing, kidnapping, disappearance and arbitrary arrest of civilians. This should be followed by a request for the Attorney General to complete the legal process in serious human rights cases by co-operating with Komnas HAM, and by inviting international human rights experts to recommend how cases can be resolved. In addition, the Attorney General must also conduct a search to find those who are still missing.

- we must continue dialogue in Papua. A democratic country must not be reluctant to hold a dialogue with its citizens. The reading of Papua’s social-political conditions must not be narrowed to a minimal framework of self-determination.

- the new chief of police, Timor Pradopo, must immediately make a breakthrough in investigating the many cases of violence and violations of the law perpetrated by Polri officers. This cannot simply wait for Polri’s grand strategy of 2005-2025. The people must not have to wait until 2025 for security and justice in their cases.

Let us respect human rights together.

KontraS Working Committee
Haris Azhar, SH, MA
Coordinator

The Commission for Disappeared and Victims of Violence (KontraS)
Jl. Borobudur No. 14 Menteng
Jakarta Pusat 10320 Indonesia
phone: 62-21-3926983
fax: 62-21-3926821
email: kontras_98@kontras.org
website: www.kontras.org
mailinglist: info_kontras@yahoogroups.co.uk

-----------------------------------------------------------


Bahasa Indonesia

Pesan HAM KontraS
Memperingati Hari HAM Sedunia 10 Desember 2010

Pemerintah Indonesia Harus Mengedepankan Pendekatan Perdamaian dan Pelibatan Peran Masyarakat Sipil dalam Penegakan HAM

Ukuran keberhasilan penegakan HAM adalah melalui pembuktian konkret dari strategi agenda prioritas yang kita miliki. Namun kedua hal diatas; strategi dan bukti konkret, masih absen dari pemerintahan dan pengelola Negara hari ini, SBY-Boediono. Penegakan hak asasi manusia, keamanan, dan jaminan hak-hak dasar kewarganegaraan belum terpenuhi.

Secara Internasional, Pesan hari Hak Asasi Manusia sedunia pada 10 Desember 2010 adalah Human Rights Defenders Who Act to End Discrimination. Pesan yangdikeluarkan Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (Office of the High Commissioner of Human Rights) ini menitik beratkan pada Pembela HAM yang menjadi titik sentrum perubahan untuk mengubah berbagai tindak diskriminasi yang masih banyak terjadi di dunia hari ini. Pesan ini senada dengan jaminan hukum hak asasi manusia di Indonesia. sebagaimana yang diterangkan dalam UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 100, Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga  kemasyarakatan  lainnya,  berhak  berpartisipasi  dalam  perlindungan,  penegakan,  dan pemajuan hak asasi manusia.

Perhatian Internasional, tidak mengecualikan kondisi HAM di Indonesia. Sampai sejauh ini praktik penegakan HAM Indonesia masih belum dikelola secara baik. Masih banyak terdapat diskriminasi dan keberpihakan secara negatif oleh aparat hukum dan pemerintah hari ini, meskipun sudah banyak terdapat legislasi yang menjamin HAM. Oleh karenanya dalam kesempatan hari HAM 2010 ini, KontraS ingin memberikan perhatian khusus terhadap sejumlah isu yang menjadi ukuran penting penegakan HAM di Indonesia hari-hari ini, selain isu-isu lainnya, yaitu;

Pertama, kegagalan Negara dalam menihilkan laju kekerasan di Papua dalam beberapa bulan terakhir. Rasa aman masyarakat di Papua hilang karena masih banyak praktek kekerasan seperti yang didokumentasikan dalam video youtube. Kondisi ini dikuti dengan serangkaian pengkondisian isu keamananan yang mengancam hak warga Papua, seperti bocornya dokumen Kopassus yang menargetkan sejumlah aktifis sipil di Papua dan terjadinya operasi gelap penyerangan ke pemukiman dan rumah anggota TNI. Respon negara pun lemah dan tak berarti. Mekanisme Peradilan HAM untuk kasus video kekerasan warga Distrik Tingginambut amat jauh dari standar HAM yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah yaitu Konvenan Hak Sipil Politik (UU No. 12 tahun 2005) dan Konvensi Anti Penyiksaan (UU No. 5 tahun 1998) yang menegaskan asas fair trial.

Kriminalisasi masih terjadi layaknya zaman orde baru terhadap sejumlah aktifis politik Papua terutama terhadap mereka yang menyampaikan aspirasinya secara damai. Lebih buruk lagi, proses kriminalisasi ini diikuti dengan praktek-praktek kekerasan terhadap para tersangka dan buruknya kondisi infrastruktur/layanan di tahanan. 

Kedua,Minimnya mekanisme sanksi yang diterapkan kepada oknum polisi yang melakukan tindak kekerasan. Akibatnya praktik kekerasan masih kerap terjadi di berbagai wilayah. Sanksi yang dijatuhkan hanya bersifat internal, misalnya dimutasi atau dinonaktifkan dari jabatannya.Umumnya kekerasan terjadi pada saat proses penyidikan di kantor-kantor kepolisian, atau terkait dengan pengamanan sengketa lahan milik korporasi bisnis. Ambigu Kepolisian juga terlihat diantara dua gambaran umum penanganan kasus; terorisme dan perlindungan kelompok minoritas. Pada kasus terorisme, Polri dan khususnya Densus 88 melakukan praktik kekerasan secara berlebihan, antara lain: aksi salah tangkap, tidak membawa surat penangkapan dan penahanan, pemeriksaan tidak didampingi pengacara, keluarga tidak diberikan akses untuk bertemu, penyiksaan dalam tahanan. Sementara dalam situasi lainnya, Polri justru nampak lemah dalam menghadapi aksi-aksi kekerasan kelompok horizontal, seperti yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) kepada kelompok-kelompok minoritas.

Ketiga, ketiadaan sikap politik Presiden SBY atas empat rekomendasi DPRI-RI terkait kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998.

Keempat, belum ada perhatian serius dari negara untuk isu Pembela HAM. Kasus Munir lebih banyak menjadi perhatian masyarakat awam dan internasional. Padahal semakin tidak diselesaikannya kasus ini, semakin menjadi symbol pengabaian Negara. Lebih jauh, kekerasan terhadap pekerja HAM dan pembela demokrasi masih terus terjadi sepanjang 2010 diantaranya kepada Jurnalis (16 kasus), aktifis anti korupsi (seperti Tama S Langkun) dan para aktifis lingkungan.

Empat catatan problem penegakan HAM di atas amat krusial untuk diselesaikan pemerintahan SBY-Boediono. Pemerintah membutuhkan keberanian untuk menghadirkan terobosan-terobosan penting khususnya pada isu penegakan HAM;

Pertama, dengan mengambil momentum hari HAM Internasional ini, pemerintah perlu mengumandangkan rencana pembentukan cetak biru (Blue Print) penegakan HAM yang menjelaskan visi-teknisnya.

Kedua, presiden SBY perlu mengumandangkan permohonan maaf kepada masyarakat Indonesia atas kegagalan penegakan HAM selama ini, terutama terhadap praktek buruk pemerintah dimasa lalu yang mengakibatkan banyak warga sipil, diantaranya, dibunuh, dihilangkan dan ditahan secara sewenang-wenang. Tindakan ini bisa diikuti dengan meminta Jaksa Agung memecah kebuntuan proses hukum perkara pelanggaran HAM berat, dengan cara membangun kerja sama dengan Komnas HAM dan memanggil ahli-ahli hukum HAM internasional untuk memberikan saran penuntasan kasus jika terdapat kendala legal serta mencari mereka yang masih hilang.

Ketiga, upaya dialog harus terus dilakukan di Papua. Negara demokratis tidak boleh anti-dialog dengan warga negaranya. Pembacaan kondisi sosial politik Papua tidak disempitkan sekedar dalam kerangka minimalis self determination semata.

Keempat, Kapolri Timor Pradopo harus segera membuat terobosan terkait dengan banyaknya praktek peyimpangan anggota Polri dalam bentuk kekerasan dan pengabaian hukum. Penangan masalah ini tidak bisa sekedar menunggu penuntasan program grand strategy Polri 2005-2025. Akan terlalu lama, buat masyarakat kecil menanti jaminan keamana dan keadilan atas kasus-kasusnya jika harus menunggu hingga 2025.

Mari bersama menghormati HAM. 
Badan Pekerja KontraS

Haris Azhar, SH, MA
Koordinator

Click here for Bahasa Indonesia version

Themes