I. Latar Belakang
Pada 16 April 2022, Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan bahwa MA kini sedang mempersiapkan proses pengadilan atas tersangka yang bertanggung jawab atas pembunuhan di luar hukum pada kasus Paniai, Papua, tahun 2014 melalui mekanisme pengadilan HAM (di bawah Undang-Undang No. 26 tahun 2000) yang direncanakan akan digelar di Makassar, Sulawesi Selatan. Mekanisme ini merupakan proses pengadilan pidana khusus dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat. Bila kasus ini dapat segera ditindaklanjuti oleh pengadilan khusus, kasus Paniai akan menjadi kasus HAM pertama yang dibawa ke meja pengadilan dalam kurun waktu 18 tahun terakhir. Selain itu, sebelas kasus pelanggaran HAM berat lainnya kini proses penuntutannya tertunda di bawah kewenangan Kejaksaan Agung. Kasus terakhir yang berhasil disidangkan melalui mekanisme pengadilan HAM dilaksanakan pada 2004, yakni kasus pembunuhan di luar hukum Abepura (2000), yang juga digelar di Makassar. Beberapa tahun sebelumnya, mekanisme pengadilan HAM juga dilaksanakan untuk dua kasus pelanggaran HAM lainnya, yakni Kekerasan di Timor Timur pada 1999 dan Peristiwa Tanjung Priok pada 1984 silam.
Melalui laporan singkat ini, AJAR (Asia Justice and Rights), KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan TAPOL yang juga tergabung ke dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Kasus Paniai 2014 bersama sejumlah organisasi HAM lain dari Papua, Indonesia, serta Internasional, berupaya untuk memberikan gambaran mengenai sepak terjang mekanisme pengadilan HAM serta rekam jejaknya di masa lalu.
Inisiatif Jaksa Agung untuk segera membawa kasus ini ke pengadilan HAM diharapkan mampu menghadirkan terobosan untuk penyelesaian impunitas yang kini masih terjadi di Papua dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Hal ini sesuai dengan janji pemerintah untuk mengakhiri impunitas di tanah Papua pada sidang Peninjauan Berkala Universal Persatuan Bangsa-Bangsa, Mei 2017 lalu, yang di sana pemerintah juga menyatakan tengah mempersiapkan pengadilan HAM untuk Kasus Wamena-Wasior, Papua.[1]
Kendati demikian, hingga kini belum ada tindak lanjut yang dilakukan. Tidak hanya itu, dalam pelaksanaannya, Pengadilan HAM terbukti memiliki kecacatan dalam mekanismenya sehingga mengarah pada nihilnya terdakwa yang dinyatakan bersalah dalam tiga kasus yang sebelumnya diadili.[2] Lebih dari itu, terdapat kekhawatiran yang disuarakan baik oleh keluarga korban dari kasus Paniai dan juga LSM HAM atas upaya Kejaksaan Agung sebelumnya yang hanya berhasil mengidentifikasi seorang prajurit militer berpangkat rendah sebagai tersangka. Situasi ini selain menunjukkan kegagalan untuk mengidentifikasi kekejaman dalam pelanggaran HAM di Paniai juga menunjukkan lemahnya substansi dari proses pengadilan yang dilaksanakan pascatemuan dan kesimpulan Komnas HAM (lembaga yang dimandatkan UU No. 26 Tahun 2000 untuk melaksanakan penyelidikan pelanggaran HAM dengan mekanisme peradilan).[3]
Rangkuman Kasus Paniai 2014
Pagi hari 8 Desember 2014, ratusan rakyat Papua menggelar aksi protes di dekat markas militer dan kepolisian di Kota Enarotali, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua. Aksi protes ini merupakan respons atas insiden kekerasan pada hari sebelumnya ketika beberapa personel militer diduga melakukan penganiayaan terhadap 11 anak Papua. Saat beberapa demonstran mulai melempar batu dan kayu ke arah markas, aparat keamanan spontan melontarkan tembakan dari berbagai arah terhadap para demonstran yang menyebabkan empat orang meregang nyawa dan belasan orang lainnya luka-luka.
Beberapa minggu setelahnya tepatnya pada perayaan Natal nasional di Papua, presiden terpilih Joko “Jokowi” Widodo membuat pernyataan bahwa beliau berkomitmen untuk mengadili para pelaku yang bertanggung jawab pada kasus tersebut sesegera mungkin. Tidak lama setelahnya, pihak militer dan kepolisian mengumumkan bahwa pihak mereka telah melaksanakan penyelidikan internal terpisah, tapi tidak ada hasil yang diumumkan ke publik. Lalu, Komnas HAM juga menggelar penyelidikan berbeda, beberapa bulan pasca kejadian. Namun baru pada Februari 2020 finalisasi penyelidikan itu berhasil dilakukan dan dapat disimpulkan bahwa terdapat cukup bukti untuk menyebut kasus penembakan Paniai 2014 sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.[4]
II. Mekanisme Pengadilan HAM
Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM
Setelah runtuhnya pemerintahan militeristik Soeharto (1968-1998), Indonesia menjalankan reformasi baik di bidang hukum maupun kelembagaan yang menerapkan norma dan hukum HAM internasional. Namun demikian, pembentukan mekanisme pengadilan HAM di Indonesia cenderung lebih didorong oleh tekanan internasional, terutama pascatindak kekerasan yang dilakukan aparat militer Indonesia dan milisi pembantunya selama referendum Timor Timur pada 1999. Kendati demikian, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan B.J. Habibie dan penerusnya, Abdurrahman Wahid, berhasil meyakinkan Dewan Keamanan PBB untuk tidak membawa kasus ini ke meja mahkamah internasional dan sebaliknya mendirikan mekanisme peradilan nasional bagi mereka yang bertanggung jawab untuk kasus tersebut.[5]
Situasi tersebut berujung pada pengesahan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia oleh DPR pada bulan November 2000. Karenanya, pengadilan HAM adalah pengadilan pidana khusus untuk “pelanggaran berat HAM” dan tidak boleh disamakan dengan mekanisme pengadilan HAM lainnya, seperti European Court of Human Rights (ECHR), Inter-American Court of Human Rights (IACtHR) dan African Court of Human and Peoples’ Rights yang bukan pengadilan pidana.
UU Pengadilan HAM yang disusun DPR itu memuat banyak definisi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dari Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional, tapi tidak menyertakan kejahatan perang. Banyak pihak yang mempercayai bahwa kelalaian tersebut secara sengaja dilakukan dalam perumusannya karena DPR telah memprediksi terjadinya Operasi Militer di Aceh, daerah yang mengalami pemberontakan separatis bersenjata yang dipimpin oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Kerangka Institusional Pengadilan HAM
Sebagian besar kasus Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan (baik polisi maupun TNI) di Papua ditangani oleh mekanisme internal yang darinya banyak kasus yang tidak diinvestigasi sama sekali.[6] Ketika polisi atau militer menindaklanjuti laporan, kebanyakan terduga pelaku hanya mendapat sanksi disiplin yang didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang notabene sudah uzur.
Di bawah sistem peradilan pidana Indonesia, personel militer hanya dapat diadili di pengadilan militer, termasuk pelanggaran HAM serius seperti penyiksaan atau pembunuhan di luar proses hukum. Semua pihak dalam sistem peradilan pidana militer, mulai dari hakim, jaksa hingga pembela hukum adalah pejabat militer. Proses serupa berlaku untuk dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian, sehingga penyidikan juga dilakukan oleh pihak kepolisian. Meskipun di saat yang bersamaan lembaga pengawas independen eksternal seperti misalnya Komnas HAM dapat melakukan investigasi terhadap setiap dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat keamanan, temuan dan laporan akhir mereka hanya berfungsi sebagai rekomendasi dan tidak dapat langsung digunakan untuk penuntutan.
Kekhawatiran utama terhadap mekanisme akuntabilitas internal tersebut termasuk di dalamnya adalah kurangnya transparansi atas prosesnya: mulai dari tahap investigasi hingga tahap pengadilan; hukuman yang sangat ringan bila dibandingkan dengan beratnya kejahatan yang dilakukan; implikasi yang terbatas hanya kepada personel dengan pangkat rendah; gagal mengadili mereka yang bertanggung jawab atas komando yang diberikan; hukuman tidak diperhitungkan dan hanya digunakan sebagai kebijakan pemeriksaan (promosi dan pemberhentian).[7]
Mengingat lemahnya mekanisme akuntabilitas HAM di dalam KUHAP, sebagian besar penyintas dan organisasi HAM di Indonesia pada akhirnya lebih memilih untuk membawa kasus pelanggaran HAM berat ke Pengadilan HAM yang membuat setidaknya kasus tersebut dapat diselidiki oleh lembaga independen, Komnas HAM. Berdasarkan UU Pengadilan HAM, setiap dugaan pelanggaran HAM berat (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) hanya boleh diselidiki oleh tim pro justicia (KPP HAM) yang dibentuk oleh Komnas HAM.[8] Dalam penyelidikannya, Komnas HAM dapat memanggil dan menginterogasi setiap individu yang relevan dan mengumpulkan bukti.[9] Jika tim pro justicia menyimpulkan bahwa ada bukti awal yang cukup telah terjadi pelanggaran HAM berat, Komnas HAM memiliki kewenangan untuk menyampaikan laporan tersebut kepada MA[10] untuk merekomendasikan melanjutkan penyelidikan hingga penuntutan pidana.[11] Hingga saat ini, Komnas HAM telah mengajukan 15 laporan investigasi pelanggaran HAM berat kepada Kejaksaan dan baru tiga kasus yang telah dibawa oleh kejaksaan ke Pengadilan HAM.[12] Kasus Paniai tahun 2014 ini merupakan kasus keempat yang dilanjutkan Kejaksaan Agung ke tahap Pengadilan HAM.
Pengadilan HAM, yang menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat, terdiri dari lima hakim panel yang tiga di antaranya adalah hakim independen (atau lebih dikenal sebagai hakim ad hoc). Hakim ad hoc diangkat dari kumpulan ahli hukum dari luar peradilan Indonesia.[13] Prosedur persidangan mengikuti proses hukum di bawah KUHAP. Dalam UU Pengadilan HAM seharusnya ada empat Pengadilan HAM yang dibentuk, yakni di Pengadilan Negeri Medan (Sumatera Utara), Jakarta, Surabaya (Jawa Timur), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Namun, Undang-undang tersebut tidak menghalangi adanya pembentukan pengadilan baru di kota-kota lain.[14] Putusan yang dijatuhkan di Pengadilan HAM tingkat pertama selanjutnya dapat diajukan banding di Pengadilan Tinggi (di Jakarta, Medan, Surabaya atau Makassar) dan dapat diteruskan hingga ke MA.
III. Tinjauan atas Rekam Jejak Mekanisme Pengadilan HAM
Hingga saat ini, mekanisme Pengadilan HAM telah digunakan untuk mengadili pelaku dalam tiga kasus pelanggaran HAM berat, yakni Kekerasan di Timor Timur (sekarang Timor Leste) saat referendum 1999, Peristiwa Tanjung Priok, Jakarta, pada 1984, dan pembunuhan di luar hukum serta penyiksaan sewenang-wenang di Abepura, Papua, pada 2000. Dalam tiga kasus tersebut, Kejaksaan Agung menjatuhkan tuntutan secara keseluruhan terhadap 34 orang (meskipun laporan Komnas HAM menyebut angka yang lebih besar) dan pada pengadilan tingkat pertama ada 16 terdakwa yang divonis bersalah. Namun demikian, semua hasil akhir kasasi di Mahkamah Agung berujung pada tidak seorang pun dinyatakan bersalah.
Keputusan-keputusan Pengadilan HAM
| Kasus Timor Timur | Kasus Tanjung Priok | Kasus Abepura, Papua |
Kejahatan yang dilakukan | Kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum dan pasca-Referendum Timor Timur pada 1999 | Kejahatan terhadap kemanusiaan kepada aktivis Islam di Tanjung Priok pada 1984 | Kejahatan terhadap kemanusiaan kepada rakyat Papua pascaserangan pos polisi di Abepura, Papua, Desember 2000 |
Pembentukan pengadilan | 2002 di Jakarta | 2003 di Jakarta | 2004 di Makassar, Sulawesi Selatan |
Jumlah terduga pelaku yang diajukan Komnas HAM | 22 orang | 23 orang | 25 orang |
Jumlah terdakwa yang dituntut kejaksaan | 18 orang | 14 orang | 2 orang |
Divonis bersalah pada tingkat pertama | 6 orang | 12 orang ditambah kompensasi akhir untuk korban | 0 |
Divonis bersalah pada tingkat banding | 2 orang | 0 | 0 |
Divonis bersalah pada tingkat kasasi | 0 |
Kekhawatiran yang disuarakan oleh organisasi-organisasi HAM atas proses penuntutan yang dilakukan Kejaksaan Agung untuk kasus Paniai menunjukkan kesamaan masalah bahwa penuntutan lagi-lagi tidak berdasarkan laporan penyelidikan Komnas HAM, yang setidaknya mengajukan 8 orang terduga pelaku. Sejauh ini, Kejaksaan Agung hanya mengumumkan satu nama, yang notabene merupakan personel militer berpangkat rendah sebagai pelaku kunci dan segera disidangkan di Makassar. Padahal, ciri dari kejahatan terhadap kemanusiaan menyiratkan bahwa tindakan tersebut melibatkan mereka yang bertanggung jawab memberi komando dan mereka yang secara langsung melakukan tindak pidana, dan keduanya harus diadili.[15]
Meskipun terdapat beberapa keraguan, beberapa organisasi HAM lainnya justru beranggapan bahwa pengadilan kasus Paniai, yang akan segera dilaksanakan, dapat memantik proses pengadilan lanjutan dari 11 kasus lainnya, baik pelanggaran HAM di Papua maupun di daerah lainnya, yang semuanya menjadi kewenangan MA. Pasalnya, dalam Tinjauan Berkala Universal untuk Indonesia yang dilaksanakan di Dewan HAM PBB pada Mei 2017 lalu, Menteri Luar Negeri telah berjanji bahwa Jaksa Agung akan memfinalisasi penyelidikan kasus Wasior dan Wamena, serta kasus-kasus lainnya di Papua, dan membawanya ke Pengadilan HAM, janji yang hingga kini belum dipenuhi.
[1] Kasus Wasior merupakan pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pemerkosaan oleh anggota kepolisian setelah serangan terhadap pos polisi yang menewaskan enam orang, termasuk lima petugas polisi pada Juni 2001. Kasus Wamena Merupakan pembunuhan di luar hukum, pengusiran paksa, penyiksaan, dan penahanan sewenang-wenang, oleh anggota kepolisian setelah sekelompok orang tak dikenal menyerang gudang senjata polisi dan mencuri senjata pada April 2003. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyelidiki kedua kasus tersebut dengan satu laporan gabungan yang menyimpulkan bahwa kedua kasus tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
[2] ICTJ (International Center for Transitional Justice) dan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), “Derailed: Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto”, Maret 2011, hlm. 39, dapat diakses melalui: https://www.ictj.org/publication/derailed-transitional-justice-indonesia-fall-soeharto-report.
[3] Komnas HAM, “Merawat Ingatan Menjemput Keadilan: Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Berat”, November 2020, hlm. 684-686.
[4]Ibid., hlm. 677. Komnas HAM, Ringkasan Eksekutif Pelanggaran HAM Berat, hlm. 677.
[5] Laporan Komisi Penyelidikan Internasional untuk Timor Timur kepada Sekretaris Jenderal, Januari 2000 (PBB Docs. A/54/726 and S/2000/59). Lihat ICTJ & KontraS, Derailed; Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto, p. 37-38 and ICG (International Crisis Group), dan Indonesia: Impunity Versus Accountability For Gross Human Rights Violations, Februari 2001, hlm. 6-9 and hlm. 13-15, dapat diakses melalui https://www.crisisgroup.org/asia/south-east-asia/indonesia/indonesia-impunity-versus-accountability
[6] Beberapa contoh dari kasus ini dapat dilihat dalam Laporan Amnesty International, “Don’t Bother, Just Let Him Die”: Killing with Impunity in Papua, Juli 2018, dapat diakses melalui: https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/8198/2018/en/; Laporan Human Rights Watch’s, “Out of Sight; Endemic Abuse and Impunity in Papua’s Central Highlands”, Juli 2007, dapat diakses melalui: https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/papua0707webwcover.pdf. Lihat juga ICP (International Coalition for Papua), Human Rights Quarterly Update West Papua – April 2021, dapat diakses melalui: https://humanrightspapua.org/images/docs/Human_Rights_Update_West_Papua_April_2021.pdf; Human Rights Quarterly Update West Papua – October 2020, dapat diakses melalui: https://humanrightspapua.org/images/docs/Human_Rights_Update_West_Papua_October_2020.pdf.
[7] ICTJ (International Center for Transitional Justice) and KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), “Derailed: Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto”, Maret 2011, hlm. 50-51. Untuk mengatasi berbagai kekurangan yang ada, terdapat rencana untuk mengubah sistem pengadilan militer secara resmi (dikonfirmasi pada tahun 2004), tetapi tidak pernah diselesaikan. UU TNI (No. 34/2004) mengamanatkan reformasi sistem peradilan militer agar personel militer yang melakukan tindak pidana, termasuk pelanggaran HAM dapat diadili di bawah yurisdiksi pengadilan sipil. Parlemen nasional 2004-2009 telah membahas RUU tentang amandemen sistem pengadilan militer dan hampir mengesahkannya pada tahun 2009, tetapi Menteri Pertahanan meminta penundaan. Namun, Belum ada rencana dalam waktu dekat untuk mengamandemen UU Peradilan Militer.
[8] UU Pengadilan HAM (No. 26/2000), Pasal 18. Berdasarkan UU tersebut, Komnas HAM juga dapat mengangkat anggota KPP HAM, umumnya aktivis atau pengacara HAM terkemuka, dari luar lembaga tersebut. Namun, untuk KPP HAM dalam kasus Paniai, semua anggotanya berasal dari Komnas HAM.
[9] UU Pengadilan HAM (No. 26/2000), Pasal 19.
[10] Kejaksaan Agung adalah bagian dari badan pemerintah (eksekutif) yang bekerja di bawah Presiden. UU Pengadilan HAM tidak memberikan ketentuan yang memungkinkan adanya gugatan atas keputusan Kejaksaan Agung yang tidak melanjutkan perkara ke Pengadilan HAM.
[11] UU Pengadilan HAM, Pasal 21-23. Kejaksaan Agung juga dapat mengangkat jaksa dari luar lembaganya, tapi dalam praktiknya belum ada jaksa independen yang terlibat dalam persidangan di bawah mekanisme Pengadilan HAM.
[12] Kasus-kasus tersebut adalah Konflik Timor Timur 1999, Penembakan 1984-1985 di Tanjung Priok, Jakarta, dan Penembakan Abepura, Papua 2000.
[13] UU Pengadilan HAM, Pasal 28-29. Baru-baru ini Mahkamah Agung menunjuk delapan hakim ad hoc dalam persiapan sidang kasus Paniai. Detik.com, “MA Loloskan 8 Nama Calon Hakim Ad Hoc Pelanggaran Berat HAM”, 25 Juli 2022, dapat diakses melalui https://news.detik.com/berita/d-6197729/ma-loloskan-8-nama-calon-hakim-ad-hoc-pelanggaran-ham-berat
[14] UU Pengadilan HAM, Pasal 45. Keluarga korban kasus Paniai dan organisasi HAM telah telah menyuarakan agar Pengadilan HAM untuk kasus Paniai digelar di Papua sehingga para korban dapat memiliki akses yang lebih baik ke persidangan. Selama ini persidangan pelanggaran berat HAM hanya dilakukan di Jakarta (untuk kasus Timor Timur dan Tanjung Priok) dan Makassar (untuk kasus Abepura).
[15] Lihat “The Updated Set of principles for the protection and promotion of human rights through action to combat impunity”, Prinsip 27, Pembatasan atas Pembenaran Terkait Kepatuhan, Tanggung Jawab Superior, dan Statuta Resmi, 8 Februari 2005, UN Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1, tersedia di https://undocs.org/Home/Mobile?FinalSymbol=E%2FCN.4%2F2005%2F102%2FDad.1&Language=E&DeviceType=Desktop&LangRequested=False.