Lompat ke isi utama

West Papua 2022 Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Berkumpul Laporan Lengkap

10 Mei, 2023

London, 10 Mei 2023

Ringkasan Eksekutif

West Papua di tahun 2022 menyaksikan meningkatnya pengekangan terhadap kebebasan berkumpul dan berekspresi, termasuk meningkatnya penangkapan, pembubaran demonstrasi, dan kekerasan, hingga memburuknya situasi terkait orang-orang yang berusaha menegakkan dan membela hak-hak, terutama para pembela hak asasi manusia dan media. Tahun itu juga merupakan tahun yang penuh dengan peristiwa besar yang mengekspos Indonesia: pemekaran Papua yang sudah diantisipasi menjadi beberapa provinsi, pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, dan Peninjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review) terhadap Indonesia di PBB. Sejak tahun 2021, kita telah menyaksikan peningkatan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul di seluruh Indonesia:

 

  • Insiden pembubaran sewenang-wenang meningkat 7,14 persen 
  • Insiden penangkapan sewenang-wenang meningkat 7,41 persen, dengan peningkatan jumlah orang yang ditangkap sebesar 19,37 persen (perkiraan total sebanyak 801 orang)
  • Insiden intimidasi dan kekerasan, termasuk penyiksaan dan pembunuhan, meningkat 25 persen. 
  • Insiden terkait internet meningkat 16,7 persen.

 

Laporan ini juga menunjukkan dalam angka bahwa:

 

  • Insiden tercatat di 14 provinsi di seluruh Indonesia, dengan proporsi tertinggi (39,6 persen) terjadi di wilayah bekas bagian Provinsi Papua, dengan menggarisbawahi jumlah insiden yang terjadi di Jayapura dibandingkan dengan daerah lain di provinsi yang baru dimekarkan tersebut. Meninjau keseluruhan wilayah West Papua (sekarang terdiri dari Provinsi Papua Barat, Tengah, Selatan, Barat Daya dan Pegunungan, serta wilayah bekas bagian Provinsi Papua di sekitar Jayapura), sebesar 75,5 persen dari seluruh pelanggaran terkait Papua di seluruh Indonesia terjadi di West Papua.
  • Terkait pelaku insiden yang terpantau dalam laporan ini, polisi terlibat dalam sebagian besar insiden, atau total 81,1 persen dari keseluruhan insidenKelompok milisi merupakan kelompok pelaku terbesar kedua, dengan keterlibatan sebesar 10,3 persen dari semua insiden, seringkali di luar West Papua dan menargetkan mereka yang menggunakan haknya atas kebebasan berkumpul. Aktor tak dikenal juga berkontribusi pada hampir 8,5 persen insiden tahun ini, terutama terlibat dalam intimidasi terhadap media dan para pembela hak asasi manusia (HAM) dan serangan daring. Polisi dan milisi terkadang bekerja sama dalam melakukan pelanggaran.
  • Kelompok-kelompok Kampanye West Papua, seperti Petisi Rakyat Papua (PRP), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), serta kelompok-kelompok lain yang lebih kecil, telah menanggung beban dari insiden-insiden yang terjadi, yakni terdampak sebanyak 55,7 persen dari seluruh insiden. Mereka menanggung beban dari semua jenis insiden, terutama penangkapan dan pembubaran sewenang-wenang. Mahasiswa merupakan kelompok terbesar kedua, terdampak sebesar 23,6 persen dari seluruh insiden, sementara warga sipil yang tidak termasuk dalam kategori manapun merupakan kelompok terbesar ketiga, yaitu 8,5 persen.

 

Kami dapat menjabarkan tren tertentu yang penting dari data yang telah kami kumpulkan dan analisis sebagai berikut:

 

  • Jumlah keterlibatan polisi pada insiden-insiden dalam laporan ini semakin kentara dan menjadi fenomena yang terus menerus terjadi selama kami meliput isu-isu ini sejak Gerakan Melawan 2019. Hal ini menunjukkan adanya strategi dan intoleransi yang terus berlanjut untuk menindak kebebasan berkumpul dan berekspresi di West Papua dan/atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan West Papua. Peran polisi dalam menerapkan hukum yang tidak adil, budaya impunitas atas pelanggaran yang dilakukan oleh aparat keamanan, dan kerja samanya dengan paramiliter untuk mengintimidasi, semakin mengikis iklim kebebasan berekspresi terhadap isu-isu yang berkaitan dengan West Papua, dan memberi dampak mencekam bagi masyarakat dan orang-orang yang hendak menggunakan hak-hak ini.
  • Jumlah penangkapan terhadap mereka yang mengekspresikan pendapatnya tentang isu-isu terkait West Papua terus terjadi dan meningkat, baik dari segi jumlah insiden maupun jumlah orang yang benar-benar ditangkap. Tren peningkatan ini berlanjut setiap tahun setelah 2019. Ini yang kami sebut fenomena ganda, yaitu meningkatnya jumlah insiden penangkapan massal, serta penangkapan yang ditargetkan terhadap orang-orang yang berperan dalam kepemimpinan organisasi pro-kemerdekaan.
  • Meningkatnya prevalensi serangan terhadap para pembela HAM dan media, serta insiden-insiden yang berhubungan dengan internet, telah menjadi perhatian. Pemerintah Indonesia, yang hanya melindungi apa yang dilihatnya sebagai aktor yang 'sah', telah menyebabkan kriminalisasi terhadap para pembela HAM dan media yang menjalankan perannya meminta pertanggungjawaban dari pihak-pihak berkuasa atas tindakan-tindakan mereka dan dampaknya terhadap hak asasi manusia, dan situasi yang memungkinkan hal ini terjadi memberikan ruang bagi aktor non-negara untuk menyerang dan menargetkan para aktivis dan organisasi yang menjalankan peran penting ini.
Type